WELCOME TO THE RAY BLOG ZONE,,

Peaceeeeee
For You ALL..
"God Bless You"

Senin, 03 November 2008

kerusakan hutan di INDONESIA

ARTIKEL
Pembakaran Hutan: Cenderung Menyalahkan Petani Tradisonal
Siaran Pers: 29 Agustus 2006
Jakarta - Tingginya jumlah titik api sepertinya semakin membuat gerah bukan saja propinsi dan negeri tetangga yang menerima kiriman asap, namun juga pejabat negeri. Namun, WALHI melihat bahwa sejumlah pernyataan yang dikeluarkan pejabat cenderung untuk menyalahkan peladang gilir balik/tradisional. Meskipun tidak membantah adanya pembukaan kebun dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat namun WALHI menilai angkanya tidak signifikan. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006, total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 %.
Kertas briefing WALHI, yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus lalu juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40 ribu hotspot. Angka ini menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan pada saat itu. Kertas tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen titik api tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI, dan HPH. Oleh karenanya, menjadi sangat disayangkan ketika sejumlah pejabat yang tidak memiliki akses terhadap informasi di lapangan, cenderung menyalahkan petani tradisional sebagai pelaku utama dan sekaligus menafikan fakta bahwa justru pelaku bisnislah yang menerima keuntungan paling besar dari landclearing dengan cara bakar ini.
Untuk itu, WALHI merasa berkepentingan untuk mengeluarkan nama-nama perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada tahun 2006 ini. Sebagian kecil dari nama-nama perusahaan tersebut telah dilakukan groundcheck untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima dari satelit. Groundcheck yang di beberapa tempat dilakukan bersama dengan Bapedalda kemudian mendapatkan kepastian bahwa sejumlah konsesi milik perusahaan telah terbakar. Menyebut di antaranya adalah PT. Agro Lestari Mandiri, PT Agro Bukit, PT Wilmar Plantation Group, PT Bulu Cawang Plantation, PT Bumi Pratama Khatulistiwa di Kalimantan Barat, PT Sumber Tama Nusa Pertiwi di Jambi, PT. Persada Sawit Mas (PSM) di Sumatera Selatan, PT. Agro karya Prima Lestari (Sinar Mas Group) di Kalimantan Tengah dan puluhan perusahaan lainnya di Riau.
”Sebagian besar perusahaan tersebut telah melakukan praktek serupa di tahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah terjerat dengan hukum. Di Riau, misalnya, PT Arara Abadi setiap tahunnya selalu terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya. Demikian halnya dengan sejumlah rekanan PT RAPP,” demikian Rully Syumanda, Pengkampanye Hutan WALHI.
Ditambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan praktek yang merugikan ini. Satu-satunya upaya hukum yang diajukan Pemprov Riau kemudian dipeti-eskan untuk alasan yang tidak diketahui sama sekali. Terkait dengan hal tersebut, WALHI dalam waktu dekat akan meminta hearing kepada DPR RI terkait dengan kebijakan yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan terhadap konsesi miliknya apabila terjadi kebakaran hutan.
Menjadi penting untuk mengeluarkan satu kebijakan yang menyebutkan bahwa pelaku bisnis harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi apabila terjadi kebakaran di konsesi miliknya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, menyebutkan bahwa kebijakan ini sangat sangat dibutuhkan mengingat tren yang berkembang pada saat ini antara pemerintah dan perusahaan selalu saling menyalahkan bila terjadi kebakaran. Ujung-ujungnya petani tradisionalah yang menjadi kambing hitamnya.
Chalid juga menambahkan bahwa hanya dengan cara demikianlah jumlah titik api di negeri ini bisa dikurangi. ”Pelaku bisnis harus bertanggung jawab apabila terjadi kebakaran dikonsesinya. Tidak peduli siapa yang melakukan pembakaran, mereka harus menunjukkan itikad baik dan kemampuan yang dimilikinya untuk menjaga konsesinya sendiri”.
WALHI sendiri menilai bahwa UU Perkebunan No. 18/2004 yang meskipun memuat sanksi namun amat sulit diimplementasikan mengingat proses hukumnya masih menggunakan KUHP yang mensyaratkan keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin, saksi mata, dsb. Untuk kebakaran yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas, menemukan bukti materiil tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami.


PEMBAHASAN
Sumber : indonesiamongabay.com

Kebakaran hutan sebagai hasil dari kegagalan pemerintah di Indonesia

Indoneisa terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di Kalimantan Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas, dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya tindakan namun pada akhirnya tetap saja kebakaran akan berlangsung hingga datangnya musim hujan. Kebakaran ini - dan asap yang mencekik - telah menjadi peristiwa tahunan di Indonesia. Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain - terutama saat kondisi el Nino yang kering mengubah hutan kawasan ini menjadi sangat mudah terbakar - tapi keseluruhan trend ini tidaklah baik. Kenapa bencana kebakaran ini terus saja terjadi? Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia atas kegagalan sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk mengurangi tingkat penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini. Sejak 1990, angka-angka resmi telah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan seperempat dari keseluruhan luas hutannya. Berkurangnya hutan-hutan primer itu menjadi lebih buruk: hampir 31 persen dari hutan tua kepulauan ini telah jatuh ke tangan penambang dan pengembang lahan pada periode yang sama. Bahkan, tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat. Berkurangnya hutan dalam satu tahun telah meningkat hingga 19 persen sejak akhir 1990an, sementara setiap tahunnya berkurangnya hutan primer telah meluas hingga 26 persen. Statistik ini seharusnya menjadi sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan bukti ketidakmampuan pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan dalam menanggulangi kroni dan korupsi.

Berkurangnya hutan di Indonesia

NASA. Penyebab langsung berkurangnya hutan di Indonesia tidaklah kompleks. Kebanyakan penggundulan hutan adalah akibat dari penebangan hutan dan pengubahan hutan menjadi pertanian. Saat ini Indonesia menjadi eksportir kayu tropis terbesar di dunia - suatu komoditas yang menghasilkan hingga 5 milyar USD tiap tahunnya - dan produsen minyak kelapa terbesar kedua, salah satu dari minyak sayur paling produktif di dunia, digunakan di apa pun mulai dari biskuit hingga biofuel. Penebangan kayu secara legal berdampak pada 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya di Indonesia, namun penebangan hutan ilegal yang telah menyebar meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar dollar pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan mengurangi suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan produk kayu. Penebangan hutan di Indonesia telah membuka beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan telah dihabisi. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen ijin penebangan di Indonesia berada di Papua, naik dari 7 persen di tahun 1990an. Selain penebangan, pengubahan hutan untuk pertanian ukuran besar, terutama perkebunan kelapa sawit, telah menjadi kontributor penting bagi berkurangnya hutan di Indonesia. Kawasan kelapa sawit meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 menjadi lebih dari 5,3 juta hektar di tahun 2004. Pemerintah berharap kondisi ini akan berlipat ganda dalam waktu satu dekade dan, melalui program transmigrasi, telah mendorong para petani untuk mengubah lahan hutan liar menjadi perkebunan. Karena cara termurah dan tercepat untuk membuka lahan perkebunan adalah dengan membakar, upaya ini justru memperburuk kondisi: setiap tahun ratusan dari ribuan hektar are berubah menjadi asap saat pengembang dan agrikulturalis membakar kawasan pedalaman sebelum musim hujan datang di bulan Oktober atau November

Kegagalan pemerintah
Walau Indonesia memiliki hukum untuk melindungi hutan dan membatasi pembakaran pertanian, mereka diterapkan dengan sangat buruk. Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik, ini berarti larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi, dikombinasikan dengan kroniism yang muncul pada masa mantan Presiden Jendral Soeharto (Suharto), telah beberapa kali merusak upaya mengendalikan kebakaran hutan: 1997, negara ini tak dapat menggunakan dana spesial reboisasi non-bujeter mereka untuk melawan kebakaran karena dana tersebut telah dialokasikan untuk proyek mobil yang gagal milik anak diktator tersebut. Saat ini pemerintah masih menolak untuk menghukum mereka yang melanggar hukum yang melarang menggunakan api untuk membuka lahan. Ini waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai serius menangani penggundulan hutan dan kebakaran yang kerap terulang. Komitmen politis adalah kuncinya - tanpanya, sumbangan-sumbangan uang dalam jumlah besar akan terus dihamburkan tanpa menghentikan penebangan hutan ilegal dan berkurangnya hutan.
Pemerintah sebaiknya meratifikasi Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar Negara, konvensi yang ditandatangani pada tahun 2002 menindaklanjuti kebakaran hutan tahun 1997-1998. PErjanjuan ini membutuhkan kerjasama multinasional untuk melawan kebakaran di kawasan tersebut. Meratifikasi perjanjian itu akan menjadi sinyal awal komitmen politis terhadap permasalahan yang ada, namun pemerintah kemudian harus melanjutkannya dengan implementasi dan inisiatif 'good governance', seperti menerapkan larangan pembakaran lahan dengan ketat. Tanpa penerapan ini, hukum tak akan ada gunanya. Indonesia tak akan lagi dapat mengabaikan aktifitas kriminal dengan kepentingan kuat. Sebagai contoh, Indonesia perlu untuk menindaklanjuti permintaan Malaysia untuk menuntut perusahaan-perusahaan Malaysia yang terlibat dalam pembakaran hutan di Kalimantan Selatan dan Sumatera. Perusahaan yang terbukti bertanggungjawab atas pembakaran ilegal, tak peduli dimana mereka berada, akan kehilangan ijin usahanya dan petugas-petugasnya di penjara. Saat kebakaran berkurang musim dingin ini, Indonesia seharusnya menyelidiki kemungkinan yang ditawarkan oleh pasar karbon yang muncul ini yang dapat memberikan pemasukan bagi negara dengan melindungi hutan dari pengembangan. Inovasi strategis lain - dari sertifikasi agrikultural dan kayu yang komprehensif hingga sponsor oleh pihak swasta untuk konservasi hutan - seharusnya juga tidak dilupakan.

Kegagalan internasional
Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan, masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gasgas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik.

1 komentar:

IQBAL IRAWAN BOEDAK BUSHI mengatakan...

ariani gimana gambarnya bagus2 u dapet d mna..........